Kerinduan Seorang Ayah

Dalam sebuah rumah sederhana di pinggir kota, tinggal seorang pria bernama Bram. Hidupnya sederhana namun penuh dengan kerja keras. Sudah belasan tahun, ia selalu bermimpi menjadi seorang ayah. Namun, waktu terus berjalan, dan impian itu masih belum terwujud.

Bram adalah pria yang penyayang. Ia selalu membayangkan momen-momen sederhana bersama anaknya: menggendong bayi kecil, mengajari berjalan, hingga mendengar celoteh riang seorang anak yang memanggilnya “Ayah”. Setiap kali melihat anak-anak, hatinya terasa kosong. Ia hanya bisa tersenyum, meskipun di dalam hatinya ia dirundung kerinduan yang mendalam.

Setiap saat, ia berdoa dengan khusyuk. “Ya Tuhan, jika Engkau mengizinkan, berikanlah kami seorang anak untuk kami rawat dan sayangi. Aku akan menjadi ayah yang baik, aku berjanji.” Doanya selalu sama, tulus dan penuh harap.

Sharen, pasangannya, selalu mencoba menguatkan hatinya. “Bima, aku tahu kamu sangat menginginkan anak, tapi kita harus tetap percaya bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik untuk kita.”

Meski Sharen berusaha menenangkan, Bima sering merasa ada kekosongan yang sulit diisi. Ia pun kerap mencari cara untuk mengisi hatinya yang rindu kehadiran buah hati. Setiap hari, ia menghabiskan waktunya untuk menulis. Dengan menulis, ia bisa menumpahkan rasa rindunya.

Dengan menulis, rasa rindunya terhadap anak seperti terbayarkan. Ia bisa membayangkan, bermain, menatap dan memeluk. Membawa kebahagiaan sementara. Namun, setiap kali ia pulang, rumahnya terasa sunyi kembali.

Suatu hari, saat bekerja, Bram bertemu dengan seorang rekan bernama Seno yang memiliki cerita serupa. Seno dan istrinya juga sempat menanti anak selama hampir sepuluh tahun sebelum akhirnya mereka dikaruniai seorang putra.

“Kami hampir menyerah, Bram. Tapi saat kami berhenti terlalu memikirkan kapan waktunya, Tuhan justru memberi kejutan yang tak terduga,” ujar Seno dengan senyum hangat. Kata-kata itu menenangkan hati Bram, memberikan secercah harapan baru.

Malam itu, Bram berbicara dengan Sharen. “Aku tahu kita sudah lama menunggu, tapi aku tidak ingin menjadikan penantian ini sebagai kesedihan. Aku ingin kita tetap bahagia, dengan atau tanpa anak. Aku akan terus berdoa, tapi aku juga ingin menikmati setiap momen bersama kamu.” Mata Sharen berkaca-kaca mendengar kata-kata itu. “Aku selalu bahagia bersamamu, Bram. Kamu adalah anugerah terindah dalam hidupku.”

Mei 2024 lalu, Bram mengajak Sharen berlibur. Mereka menghabiskan waktu bersama, tertawa dan Bahagia. Menikmati setiap momen. Meski, kerinduannya menjadi ayah tak pernah benar-benar hilang.

Hingga suatu pagi, Sharen tiba-tiba menghubungi Bram melalui video call whatsapp dengan wajah penuh haru. Ia membawa sebuah alat uji kehamilan di tangannya.

“Bram, aku hamil,” ucapnya lirih. Bram terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Seketika, air matanya mengalir. Ia memeluk sharen erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. “Terima kasih, Ya Tuhan. Akhirnya Engkau mengabulkan doa-doa kami.”

Sembilan bulan menjadi perjalanan yang penuh keajaiban. Bram menjadi pasangan yang semakin perhatian. Ia memastikan Sharen makan makanan bergizi, beristirahat cukup, dan selalu merasa didukung. Setiap malam, mereka berbicara dengan bayi dalam kandungan.

“Nak, kami sudah lama menunggumu. Kami sangat mencintaimu, dan kami akan selalu menjaga kamu,” kata Bram, sambil menatap perut Sharen meski hanya melalui video call.

Keduanya, memang sementara terpisah. Karena Bram harus bekerja di sebuah daerah yang jauh dan terpisah pulau. Sedangkan Sharen di rumah, bersama keluarga lainnya.

Hari demi hari, kerinduan Bram semakin besar. Setiap tendangan kecil dari dalam perut Bram membuatnya merasa lebih dekat dengan anaknya. Namun, penantian ini juga dipenuhi rasa cemas. Ia sering berdoa agar Sharen dan bayinya selalu sehat hingga waktu persalinan tiba.

Pada suatu malam, sambil menatap langit berbintang, Bram diujung telepon berkata, “Kita sudah sangat dekat, Sayang. Aku tidak sabar untuk melihat wajah kecil itu. Tapi aku tahu, semua ini terjadi di waktu yang tepat, dan aku bersyukur karena kita bisa menjalaninya bersama.” Sharen mengangguk sambil tersenyum. “Aku juga merasa bersyukur, Bram. Dengan kamu di bersamaku, aku tahu semuanya akan baik-baik saja.”

Penantian itu masih berlanjut, tapi kini dipenuhi harapan dan kebahagiaan yang kian mendalam. Bram tahu, tak lama lagi, mimpinya menjadi seorang ayah akan terwujud, dan saat itu tiba, ia akan memberikan seluruh cinta yang ia miliki untuk anaknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *