Bandung menyambutku dengan gerimis yang malas turun, seperti seseorang yang ragu memulai percakapan lama. Udara dingin menempel di kulit, menusuk pelan, tapi terasa akrab.
Sudah cukup lama aku tak benar-benar menjejak kota ini—kota yang dulu jadi rumah bagi segalanya: tawa, rencana, dan kenangan yang tak pernah tuntas.
Aku turun dari travel di depan Dago, tepat di bawah papan neon yang setengah mati cahayanya. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kota masih hidup, tapi dengan cara yang berbeda dari dulu. Ada kafe baru di setiap tikungan, ada musik pelan dari pengeras suara, dan ada wajah-wajah muda yang mungkin sedang jatuh cinta seperti dulu aku dan Dira.
Nama itu masih terasa aneh di lidahku. Dira. Seperti bunyi biola yang tiba-tiba dimainkan di tengah hujan—mendadak, tapi tak bisa dihentikan.
Kami dulu sering berjalan kaki menyusuri Jalan Merdeka, menunggu hujan reda di depan Gedung Asia Afrika. Aku masih ingat cara ia menunduk, menutupi wajahnya dengan jaketku, tertawa sambil berkata, “Raka, Bandung tuh lebih indah kalau hujan. Karena semua orang jadi punya alasan buat berhenti sejenak.”
Dan kini aku berhenti lagi di kota ini. Tapi tanpa dia.
Aku menyewa kamar kecil di hotel tua dekat Cihampelas. Dindingnya tipis, aroma kayu lembap, dan jendela menghadap ke arah lampu-lampu kota yang berkilau samar.
Malam itu, aku membuka laptop—niatnya untuk menulis artikel yang harus kukirim besok. Tapi yang muncul di layar hanyalah satu kalimat:
“Aku kembali, tapi tak tahu untuk apa.”
Di luar, hujan makin deras. Dan entah kenapa, setiap kali hujan di Bandung turun, aku merasa Dira masih di sini—mungkin sedang menatap jendela yang sama, menulis kenangan yang sama.
Aku menutup laptop, memakai jaket, dan keluar ke jalan.
Dago malam itu hidup seperti dulu: musik akustik dari kafe, aroma kopi, lampu kendaraan memantul di jalan basah. Aku berjalan tanpa arah, hanya mengikuti perasaan.
Langkahku berhenti di depan sebuah kafe yang dulu sering kami datangi—namanya sudah berubah, tapi bentuk pintunya masih sama: kayu tua dengan lonceng kecil yang berdenting setiap kali dibuka.
Aku masuk.
Di dalam, suasananya hangat. Ada gitaris muda sedang menyanyikan lagu “Dan…” dari Sheila on 7. Lagu yang dulu kami nyanyikan bersama di perjalanan ke Lembang. Aku tersenyum getir. Dunia seolah sengaja memutarnya malam ini, hanya untuk mengingatkanku betapa aku belum sepenuhnya pulih.
Aku duduk di pojok ruangan, memesan kopi hitam. Dan di antara suara hujan dan petikan gitar, aku mendengar suara tawa perempuan dari meja seberang. Aku menoleh refleks.
Rambutnya terurai panjang, dengan poni yang sedikit menutupi mata. Senyumnya mirip sekali dengan Dira. Bukan wajah yang sama, tapi ada sesuatu di sana—caranya menatap, caranya menyesap kopi, caranya menunduk saat tertawa.
Aku menatap terlalu lama sampai pelayan datang menegur.
“Pesanan, Mas?” Aku tersenyum, “Iya, kopi hitam. Yang paling pahit.”
Pelayan tertawa kecil, “Lagi patah hati, ya?”
“Bisa dibilang begitu,” jawabku pelan.
Di luar, hujan turun makin deras. Aku menatap ke arah perempuan itu lagi. Ia duduk bersama dua teman, tampak bahagia. Tapi sesekali, matanya menerawang jauh, seperti seseorang yang sedang menunggu.
Aku tidak tahu apa yang membuatku nekat, tapi saat ia berdiri hendak pergi, aku ikut bangkit. Ia menatapku sekilas. Ada kilatan singkat di matanya—kaget, mungkin, atau deja vu. Tapi ia hanya tersenyum sopan lalu berlalu keluar.
Dan aku, seperti bodoh, membayar kopi yang belum kuminum dan mengejarnya ke luar.
Hujan sudah reda. Jalanan lembap, lampu kota memantul di genangan air. Aku mencari sosoknya di antara pejalan kaki, tapi ia sudah hilang. Hanya ada suara angin yang membawa aroma melati dari taman kecil di dekat situ.
Malam Bandung seperti menertawakanku.
Selalu indah, tapi tak pernah mudah.
Aku berjalan kembali ke hotel dengan langkah berat. Di trotoar, seorang pengamen menyanyikan “Cinta di Ujung Jalan.” Aku berhenti sejenak, mendengarkan.
Dan untuk alasan yang tidak kumengerti, aku menangis. Bukan karena kehilangan Dira saja, tapi karena aku baru sadar—aku tak pernah benar-benar pergi dari Bandung. Sebagian dari diriku tertinggal di malam itu, di bangku kafe, di senyum yang tak sempat aku simpan.
Malam menelan semuanya pelan-pelan.
Dan aku hanya bisa berjalan, dengan hati yang masih berdebu oleh kenangan.