Maaf, Aku Memang bukan Suami yang Sempurna

Pagi itu, Ryan terjaga lebih lambat dari biasanya. Seperti biasa, ia terbangun dengan perasaan berat yang menyelimuti dirinya. Jam dinding di kamar tidur menunjukkan pukul 09:00 WITA, dan meskipun alarm berbunyi sudah lama, ia hanya bisa terdiam, membiarkan waktu berlalu begitu saja. Pikirannya tak bisa fokus pada hal lain selain perseteruan semalam dengan Nathalie, istrinya yang telah meninggalkannya untuk sementara waktu.

Setelah menghabiskan beberapa detik dalam kebingungannya, Ryan akhirnya bangkit dari ranjang. Langkahnya terasa pelan, seperti seseorang yang sedang terjebak dalam perasaan bersalah yang mendalam. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencoba mengusir rasa penat yang telah lama menumpuk dalam dirinya, meskipun ada sesuatu yang lebih berat yang terpendam di dalam hatinya. Ia mencuci wajahnya, berusaha menyegarkan diri, tapi tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa hidupnya tengah dilanda kekacauan.

Ryan adalah seorang pimpinan perusahaan kontraktor yang sukses, yang selalu dikenal sebagai sosok yang tegas dan profesional. Namun, hari itu, ia merasa kosong. Pekerjaan seakan menjadi rutinitas yang tidak memberi makna lagi. Dalam benaknya, hanya satu hal yang menggema—pertengkaran hebat yang terjadi semalam dengan Nathalie.

Sebelum menikah, Ryan selalu percaya bahwa dirinya adalah seorang suami yang cukup baik. Mungkin tidak sempurna, tetapi ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Nathalie. Tetapi belakangan, ia merasa ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Sebagai seorang lelaki yang bekerja keras, Ryan merasa dirinya telah memberikan semua yang bisa ia berikan—pekerjaan, penghidupan yang layak, dan cinta. Tetapi itu semua sepertinya tidak cukup bagi Nathalie.

Dengan langkah gontai, Ryan menuju mobilnya yang terparkir di samping rumah. Ia melaju menuju kantor dengan perasaan yang bercampur aduk. Di sepanjang perjalanan, lagu “I’m Sorry Goodbye” milik Krisdayanti dan “Sudahi Perih Ini” dari D’Masiv bergema dalam mobilnya, seolah-olah lagu-lagu tersebut berusaha menyuarakan kegelisahan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Setiap lirik lagu yang terdengar hanya menambah berat beban yang ia rasakan.

Sesampainya di kantor, Ryan disambut oleh satpam yang ramah dan beberapa rekan kerja yang tersenyum, namun senyuman itu hanya terasa seperti topeng. Ia membalas senyuman itu dengan gugup, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menghimpit dadanya. Dalam ruangan kantornya yang sederhana, Ryan duduk sejenak, berusaha menenangkan pikirannya yang terus berputar. Namun, tak lama setelah itu, pintu ruangannya diketuk, dan Lisa, sekretarisnya, masuk dengan membawa beberapa berkas yang harus segera ditandatangani.

“Pak, maaf, ini ada beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani, dan jangan lupa, jam 12 ada pertemuan,” kata Lisa dengan nada formal yang sudah biasa. Ryan hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya, hanya ada satu hal yang ingin ia katakan—pertengkaran semalam.


“Harusnya kamu bisa berpikir, kenapa aku tidak pulang ke rumah? Kenapa kamu tidak peduli tentang apa yang terjadi dengan aku?” Nathalie terdengar sangat emosional di ujung telepon semalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan serangan yang menusuk hati Ryan.

“Selama aku di rumah mama, aku selalu yang menanyakan kabarmu, tapi kamu? Kamu tidak pernah peduli. Kenapa aku harus terus-menerus yang memberi perhatian? Suami macam apa kamu? Kamu masih sayang sama aku?” Nathalie bertanya dengan nada tinggi, penuh kekecewaan yang sudah tidak tertahankan. Ryan terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja ia dengar. Sebagai seorang pria yang selalu merasa bahwa ia telah memberikan segalanya untuk istrinya, kata-kata itu sangat menyakitkan.

“Aku selalu memberi kabar, Nathalie, meskipun tidak setiap saat. Pekerjaanku banyak, aku tidak bisa terus-menerus mengecek ponsel atau mengirim pesan. Tetapi itu bukan berarti aku tidak peduli!” jawab Ryan, dengan suara yang hampir hilang. Ia merasa marah dan tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. Namun, suara Nathalie di telepon semakin serak, dan ia bisa mendengar tangisan di balik kata-kata istrinya.

“Aku butuh perhatianmu, Ryan. Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata kosong. Aku ingin kamu peduli, bukan hanya pada pekerjaanmu,” ujar Nathalie, suaranya terdengar semakin terisak. Ryan merasakan dadanya sesak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Sebagai seorang suami, ia merasa sudah melakukan yang terbaik, tetapi mengapa ini tidak cukup bagi Nathalie?

“Jika kamu terus begini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku butuh perhatianmu. Aku merasa sendirian dalam pernikahan ini,” tambah Nathalie, lalu suara telepon itu terputus begitu saja. Ryan hanya bisa diam, menatap layar ponselnya yang menunjukkan panggilan yang telah berakhir.

Perasaannya kacau. Ia tidak bisa menahan amarah, kesedihan, dan rasa bersalah yang datang bersamaan. Ia merasa seperti gagal menjadi suami yang baik, meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga.

Merasa tak bisa lagi hanya diam dalam kebingungannya, Ryan menulis sebuah pesan singkat untuk Nathalie. “Maaf, aku memang bukan suami yang sempurna,” tulisnya. Ia berharap, meskipun pesan itu mungkin tidak mendapat balasan, setidaknya itu adalah permintaan maaf yang tulus dari dalam hatinya.

Pintu ruangannya diketuk lagi, dan Lisa masuk, mengingatkannya tentang pertemuan yang sudah dijadwalkan. Ryan menatap berkas-berkas yang tergeletak di atas mejanya, namun pikirannya masih terjebak pada kata-kata Nathalie yang terus bergema di telinganya. Ia tahu, hidup tidak bisa berhenti hanya karena sebuah pertengkaran. Namun, hatinya terasa hancur, dan ia merasa terperangkap dalam kesalahan yang sulit untuk diperbaiki.


Dalam keheningan ruang kerjanya, Ryan duduk di kursinya, seakan dunia di sekitarnya tidak ada lagi. Ia memikirkan pernikahannya, mengingat kembali bagaimana ia dan Nathalie dulu sangat bahagia. Dulu, mereka selalu berkomunikasi dengan baik, saling memberikan perhatian, dan berbagi impian. Tapi kini, semuanya terasa hampa. Nathalie merasa terabaikan, dan Ryan merasa terperangkap dalam rutinitas yang tak memberi ruang untuk kebahagiaan bersama.

Ryan sadar, sebagai suami, ia telah gagal memberi perhatian yang cukup. Pekerjaannya telah menghalangi hubungan mereka, dan ia terlalu fokus pada pencapaian pribadi hingga lupa untuk menjaga hubungan yang paling penting dalam hidupnya. Ia sadar bahwa dalam mencari kesuksesan, ia telah kehilangan yang lebih berharga—istrinya.

Ia ingin berubah. Ia ingin menjadi suami yang lebih baik, suami yang tidak hanya memberikan materi, tetapi juga perhatian dan cinta. Namun, ia juga tahu bahwa perubahan tidak akan mudah, dan mungkin, Nathalie tidak akan langsung memaafkannya.

Hari itu, Ryan berusaha untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, hatinya terasa kosong. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus memperbaiki hubungan ini. Meskipun ia bukan suami yang sempurna, ia akan berusaha untuk menjadi suami yang lebih baik.

Satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak bisa kehilangan Nathalie, meskipun ia harus melalui perjalanan yang panjang dan sulit untuk memperbaiki semuanya.


Cerita ini menggambarkan ketegangan emosional yang dialami Ryan dalam perjuangannya untuk menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaan. Keinginan untuk menjadi suami yang baik bertemu dengan kenyataan bahwa kadang-kadang, pekerjaan dan ambisi pribadi bisa mengorbankan hal yang paling berharga dalam hidup kita—hubungan dengan orang yang kita cintai.

Ditulis 2011 lalu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *