Dalam Sebuah Tongkrongan

Kadang, hidup membawa kita pada persimpangan yang tak pernah kita bayangkan. Marcel, seorang pria yang dulu sangat bangga dengan kehidupan rumah tangganya, kini berada di titik yang kelam. Ia merasa seperti seorang suami yang kehilangan arah, terjebak dalam perasaan bingung dan terasing, di tengah perubahan besar yang terjadi dalam keluarga kecilnya.

Perjalanan Marcel dalam mencari jawaban atas kebingungannya mengungkapkan konflik dalam kehidupan rumah tangga yang begitu kompleks. Berawal dari perasaan yang tak terungkapkan, ia kemudian harus menghadapi kenyataan pahit tentang apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya, Mira. Perubahan yang datang perlahan, namun terasa sangat mendalam, menyentuh semua aspek kehidupannya—pernikahannya, perasaannya, bahkan pandangannya terhadap kebahagiaan. Di sini, Marcel tak hanya bertarung dengan keraguan, tapi juga dengan dirinya sendiri.


Bagian 1: Keheningan yang Memecah

Di sebuah tongkrongan yang ramai, Marcel duduk sendirian di sudut meja, menatap cangkir kopi yang sudah dingin di depannya. Raut wajahnya yang biasanya cerah kini tampak suram, seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Meskipun di sekelilingnya ada teman-teman yang bercanda dan tertawa, Marcel hanya bisa terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Teman-temannya yang menyadari perubahan ini, saling melirik satu sama lain. Ridwan, yang sudah mengenal Marcel sejak lama, akhirnya memutuskan untuk mendekat. “Bro, kamu kelihatan nggak enak. Ada apa? Ceritalah, kita di sini buat dengerin kamu,” kata Ridwan dengan nada yang penuh perhatian.

Marcel menarik napas panjang, tampaknya berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Saya… saya bingung harus mulai dari mana. Tapi yang jelas, saya khawatir. Saya khawatir dengan rumah tangga saya,” jawab Marcel, suaranya serak, penuh keraguan.

Rio, yang duduk di sebelah Ridwan, ikut menimpali, “Rumah tangga kamu? Maksudnya apa, bro? Kenapa tiba-tiba kamu ngomong gini? Biasanya, kamu selalu bahagia, ngomongin istri kamu, Mira, terus.”

Marcel menatap sahabat-sahabatnya satu per satu. Rasanya, selama ini ia berusaha menyembunyikan semuanya. Namun, sekarang, semua itu harus terungkap. “Istriku, Mira, dia berubah. Sejak dia mulai bekerja di perusahaan besar itu, segalanya terasa berbeda. Seperti ada jarak yang terbentuk, dan saya nggak tahu harus bagaimana,” ungkap Marcel dengan suara yang nyaris pecah.

Teman-temannya terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang Marcel katakan. “Tapi bro, kamu selalu bilang Mira istri yang sempurna, ibu yang luar biasa. Selalu ada untuk kamu dan anak-anak,” kata Firmansyah, sambil menatap Marcel penuh tanda tanya.

Marcel menghela napas dalam. “Itu dulu. Dulu dia selalu ada. Tapi sekarang? Dia lebih sibuk dengan pekerjaan. Pulang malam, pagi-pagi sudah pergi lagi. Saat saya tanya, jawabannya selalu sama, ‘kerjaan lagi padat.’ Dia nggak peduli dengan saya, dengan anak-anak,” lanjut Marcel, suara mulai terdengar patah. “Saya menyesal… seharusnya saya nggak mengizinkannya bekerja dulu.”

Rekan-rekannya pun terdiam. Mereka sudah lama tidak mendengar Marcel bercerita tentang hal seperti ini. Marcel, yang dulu selalu bahagia membicarakan istrinya, kini terlihat begitu terpuruk.


Bagian 2: Kebenaran yang Tertunda

Keesokan harinya, setelah pertemuan di tongkrongan, Marcel pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia membuka pintu rumah, dan suasana yang biasanya hangat kini terasa hampa. Suara riang anak-anak yang bermain di ruang tamu, dan bau masakan yang tercium dari dapur, membuat Marcel semakin merasa terasing. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan rumah tangganya.

Mira, istrinya, belum pulang. Marcel tahu betul rutinitas Mira. Pekerjaannya sering membuatnya pulang larut malam. Tapi kali ini, Marcel merasakan sesuatu yang berbeda. Hatinya semakin gundah. Ia duduk di ruang makan, memandangi piring kosong di depannya. Pembantu rumah tangga sudah menyiapkan makan malam, tetapi Marcel tak merasa nafsu untuk menyantapnya.

Ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Mira masuk. “Maaf, aku masih ada rapat, mungkin pulang malam,” begitu isi pesan itu. Marcel meletakkan ponselnya dengan perlahan. Rasa kesal dan kecewa menggelayuti dirinya.

Ia mengingat kembali, beberapa bulan yang lalu, Mira adalah sosok yang selalu mengutamakan keluarga. Mereka selalu makan malam bersama, saling berbicara tentang hari-hari mereka. Tapi sekarang, Mira lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, bahkan di akhir pekan. Marcel merasa seperti dirinya sudah tidak ada dalam prioritas Mira. Semua kebutuhannya dan anak-anak kini diserahkan kepada pembantu. Keputusan yang diambil Mira untuk bekerja memang membawa penghasilan lebih, tetapi Marcel merasa itu tidak sebanding dengan apa yang hilang dalam hidupnya.

Malam itu, Marcel memutuskan untuk berbicara dengan Mira, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, perasaan takut dan ragu mulai menyelimutinya. Apakah Mira masih mencintainya? Apakah ada yang lebih penting daripada keluarga mereka?


Bagian 3: Perubahan yang Mengiris

Saat Mira akhirnya pulang larut malam, Marcel sudah duduk menunggunya di ruang tamu. Mira tampak kelelahan, namun tetap berusaha tersenyum ketika melihat suaminya. “Kamu masih bangun? Maaf, rapatnya lama sekali,” kata Mira, meletakkan tas kerja di meja.

Marcel menatap Mira, mencoba menahan perasaannya. “Mira, kita perlu bicara,” ujar Marcel dengan nada yang tegas, tetapi penuh keputusasaan.

Mira menatapnya, tampak sedikit terkejut. “Bicara tentang apa?” tanyanya, mencoba menghindar.

Marcel berdiri, mendekati Mira dengan tatapan yang penuh emosi. “Tentang kita, Mira. Tentang rumah tangga kita. Tentang perasaan saya yang semakin terabaikan. Saya merasa seperti kamu tidak lagi peduli dengan saya. Kamu lebih sibuk dengan pekerjaanmu, dan saya merasa kita semakin jauh,” ujarnya, suaranya bergetar.

Mira terdiam, tidak tahu harus berkata apa. “Aku bekerja untuk kita, Marcel. Kita butuh biaya hidup yang lebih besar. Gaji kamu saja nggak cukup untuk semua itu,” jawab Mira dengan suara yang lembut, tetapi Marcel bisa merasakan ada jarak yang semakin jauh di antara mereka.

Marcel merasa hatinya hancur mendengar itu. “Saya tidak butuh semua itu, Mira. Saya hanya butuh kamu. Keluarga kita. Anak-anak kita,” ujar Marcel dengan suara penuh harapan, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa semuanya tidak akan sama lagi.

Mira menunduk, tampak bingung dan cemas. Marcel merasakan bahwa ini adalah titik yang sulit. Semua yang ia perjuangkan, semua kenangan manis yang mereka bangun bersama, kini terasa seperti debu yang terbang tertiup angin.

Mira akhirnya berkata, “Aku tidak tahu, Marcel. Aku tidak tahu harus bagaimana.” Suaranya hampir pecah, dan Marcel bisa merasakan kesedihan yang mendalam dalam kata-katanya.

Marcel hanya bisa menatap istrinya dengan perasaan yang campur aduk. Di sinilah titik terendah mereka. Di sinilah Marcel harus menerima kenyataan bahwa cinta dan kebahagiaan tidak selalu datang dengan cara yang kita harapkan.

FIKSI

1 thought on “Dalam Sebuah Tongkrongan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *