Hidup adalah perjalanan yang dipenuhi oleh berbagai rasa—bahagia, kecewa, harapan, hingga kesedihan. Dalam setiap langkah, kita dipaksa untuk belajar, entah melalui cinta yang hadir atau luka yang tertinggal.
Luka yang Tak Terlihat
Mentari pagi menembus tirai kamar, namun bagi Arga, cahaya itu tak membawa hangat. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong pada dinding yang tak berdosa. Pikirannya masih tenggelam dalam percakapan semalam.
“Kamu terlalu sabar, Arga,” ujar Rani, sahabatnya, dengan nada penuh rasa kasihan. “Kalau aku di posisimu, aku sudah pergi sejak lama.”
Arga hanya tersenyum tipis saat itu. Namun, di dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin memberitahu bahwa sabar bukanlah pilihannya, melainkan benteng terakhir yang ia miliki untuk bertahan.
“Jangan ajarkan aku tentang sabar,” bisiknya pelan, meski tak ada yang mendengar. “Aku pernah kecewa, tapi aku tidak pergi. Aku tahu rasanya dibunuh, tapi tidak mati.”
Di meja kecil di sudut kamar, sebuah bingkai foto berdiri kokoh. Dalam foto itu, Arga tersenyum bersama seseorang yang dulu ia pikir akan menjadi pelengkap hidupnya, Nadira. Namun, senyum itu kini hanya bayangan masa lalu yang menghantui. Nadira memilih pergi, meninggalkan Arga dengan luka yang tak bisa dilihat orang lain.
Bayangan Masa Lalu
Hari itu, Arga memutuskan untuk berjalan ke taman dekat rumahnya. Langkahnya berat, seperti menanggung beban yang tak terlihat. Ia duduk di bangku favoritnya, di bawah pohon beringin besar. Tempat itu selalu menjadi pelariannya ketika dunia terasa terlalu berat.
“Masih ingat Nadira?” tanya suara familiar di belakangnya. Arga menoleh dan mendapati Rani berdiri dengan senyum setengah menggodanya.
“Dia nggak pernah benar-benar pergi,” jawab Arga, menunjuk kepalanya. “Dia ada di sini, di setiap pikiran, di setiap langkah.”
Rani duduk di sebelahnya. “Arga, kadang cinta memang meninggalkan luka. Tapi luka itu bukan untuk dipelihara.”
Arga menunduk, tangannya menggenggam ujung bangku kayu yang mulai lapuk. “Aku tahu, Ran. Tapi aku pernah percaya dia adalah segalanya. Dan saat dia pergi, aku tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpa rasa itu.”
Dibunuh, Tapi Tidak Mati
Di malam yang hening, Arga membuka kotak kayu tua yang ia simpan di bawah ranjang. Isinya adalah surat-surat yang tak pernah ia kirimkan pada Nadira. Setiap kata di sana adalah jeritan hati yang ia pendam.
Salah satu surat terbuka, bertuliskan:
“Nadira, kamu tahu rasanya? Dibunuh, tapi tidak mati? Itulah yang aku rasakan sejak kamu pergi. Kamu mengambil bagian terbaik dariku, lalu meninggalkan sisanya begitu saja. Tapi anehnya, aku tetap di sini. Aku tetap menunggu, meski aku tahu kamu tidak akan kembali.”
Arga meremas surat itu, lalu menatap langit-langit kamar. Air matanya mengalir, bukan karena ia lemah, tapi karena ia tahu—ia sudah terlalu lama bertahan pada sesuatu yang seharusnya ia lepaskan.
Jalan Menuju Pemulihan
Keesokan harinya, Arga memutuskan untuk keluar dari rutinitasnya yang monoton. Ia ingin menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang dapat membuatnya merasa hidup kembali. Langkah pertamanya adalah mengunjungi galeri seni di pusat kota, tempat yang dulu sering ia dan Nadira kunjungi bersama.
Di dalam galeri, Arga berdiri di depan sebuah lukisan besar yang menggambarkan pohon dengan dahan yang patah namun masih berusaha tumbuh. Lukisan itu seakan berbicara padanya, menggambarkan dirinya sendiri yang masih mencoba bertahan meski banyak bagian dari hidupnya telah hancur.
“Indah, ya?” Suara lembut seorang perempuan memecah keheningan. Arga menoleh dan melihat seorang perempuan dengan rambut sebahu dan mata yang penuh perhatian.
“Ya,” jawab Arga singkat. “Seperti ada kekuatan dalam kelemahannya.”
Perempuan itu tersenyum. “Kadang, dahan yang patah memberi ruang bagi tunas baru untuk tumbuh. Saya Maya, senang bertemu dengan Anda.”
“Arga,” balasnya sambil mengulurkan tangan. Pertemuan itu terasa seperti awal dari sesuatu yang baru, meski Arga belum tahu apa.
Dalam perbincangan singkat mereka, Arga merasakan kehangatan yang lama ia rindukan. Maya berbicara tentang seni dan bagaimana setiap lukisan memiliki cerita yang berbeda, seperti manusia. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arga merasa ada secercah harapan di hatinya.
Saat mereka berpisah, Maya memberikan kartu nama dengan senyum tulus. “Kalau ingin berbagi cerita tentang lukisan lain, hubungi saya.”
Arga menggenggam kartu itu erat. Mungkin, ini saatnya untuk memulai babak baru dalam hidupnya—babak di mana ia tak lagi hidup dalam bayang-bayang masa lalu.
Menghidupkan Cahaya yang Padam
Malam itu, Arga duduk di meja kerjanya dengan kartu nama Maya di tangannya. Ia memutar-mutar benda kecil itu, ragu apakah ia harus menghubunginya. Bagian dari dirinya takut akan perubahan, namun bagian lain memohon untuk hidup kembali.
Akhirnya, ia memberanikan diri mengirim pesan singkat: “Maya, terima kasih untuk obrolannya tadi siang. Saya ingin tahu lebih banyak tentang seni yang kamu ceritakan.”
Tak butuh waktu lama bagi Maya untuk membalas: “Arga, senang mendengar dari kamu. Ada pameran seni akhir pekan ini. Kalau kamu tertarik, kita bisa pergi bersama.”
Hati Arga berdebar. Tawaran itu seperti jendela kecil yang terbuka menuju dunia baru. “Baik, saya akan datang,” balasnya singkat namun mantap.
Ketika akhir pekan tiba, Arga bertemu Maya di depan galeri seni. Ia tampak berbeda—lebih percaya diri, meski masih ada sisa-sisa keraguan dalam dirinya. Maya menyambutnya dengan senyum hangat, membuat Arga merasa sedikit lebih ringan.
Selama pameran, Maya menjelaskan setiap karya seni dengan antusias. “Lihat lukisan ini,” ujarnya sambil menunjuk kanvas besar yang dipenuhi warna-warna cerah. “Ini melambangkan harapan, bahwa meski dunia gelap, selalu ada cahaya di ujungnya.”
Arga menatap lukisan itu dengan penuh perhatian. “Kadang sulit melihat cahaya itu,” gumamnya.
Maya menoleh padanya, matanya penuh pengertian. “Tapi itu bukan berarti cahayanya tidak ada. Kamu hanya perlu waktu untuk menemukannya.”
Kata-kata Maya terus terngiang di kepala Arga sepanjang malam. Ia merasa bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang benar-benar mengerti rasa sakitnya. Di dalam dirinya, sebuah nyala kecil mulai menyala—sebuah keinginan untuk melepaskan masa lalu dan menemukan arti baru dalam hidup.
Bagi Arga, perjalanan ini baru saja dimulai.