Jangan ajarkan aku tentang sabar,
aku sudah terlalu sering belajar tanpa guru.
Aku pernah kecewa,
berulang kali, tapi tak pernah memilih pergi.
Hatiku retak, namun tetap berdetak,
menyimpan harap yang kutahu akan sia-sia.
Kamu tahu rasanya?
Dibunuh, tapi tidak mati.
Dijerat bayanganmu,
namun tak pernah bisa benar-benar pergi.
Berjalan di atas luka yang tak sembuh,
melangkah dalam bayang,
di mana cahaya pun tak lagi menjanjikan.
Aku pernah percaya,
pada kata-kata yang kau ucapkan dengan indah.
Namun, kepercayaan itu hancur,
seperti kaca yang terhempas pada lantai dingin.
Aku mencoba memungut serpihannya,
tapi setiap ujungnya hanya menggores lebih dalam.
Jangan ajarkan aku tentang sabar,
karena aku telah berdiri di ujung batasnya.
Aku menanti, meski yang datang hanyalah hampa.
Aku bertahan, meski angin kehidupan terus menggoyang.
Aku mencintai, meski balasannya hanya bayang-bayang semu.
Kamu tahu rasanya?
Berteriak dalam sunyi,
mencari jawaban yang tak pernah hadir.
Mengemis pengakuan,
pada seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar melihatmu.
Hatiku seperti taman tanpa bunga,
menyimpan tanah yang kering dan retak.
Namun, aku tetap di sini.
Bukan karena aku lemah,
tapi karena aku percaya cinta adalah kekuatan.
Meski cinta yang kupegang
telah melukai lebih dari yang bisa kusadari.
Jadi, jangan ajarkan aku tentang sabar.
Aku telah menjadi murid setia dari waktu,
dan waktu mengajariku
bahwa luka pun memiliki ceritanya sendiri.
Aku pernah kecewa, tapi aku tidak pergi,
karena aku tahu:
di setiap luka, ada kekuatan tersembunyi