Menulis dengan hati berarti menulis dengan penuh perasaan, kejujuran, dan ketulusan. Kata-kata yang lahir dari hati biasanya membawa emosi yang mendalam, karena mereka mencerminkan pengalaman, kerinduan, cinta, atau bahkan luka yang benar-benar dirasakan.
Sebaliknya, menulis dengan otak lebih fokus pada logika, struktur, atau teknik—hal yang lebih terukur dan terencana. Tapi tulisan yang hanya berasal dari otak kadang terasa datar, seperti kehilangan jiwa.
Menulis dengan otak sering kali fokus pada logika, manipulasi kata, dan bagaimana membuat sesuatu terlihat bagus atau benar, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.
Ketika seseorang menulis dengan otak saja, ada kemungkinan besar mereka lebih memperhatikan apa yang ingin didengar oleh orang lain, bukan apa yang benar-benar dirasakan atau dialami. Ini bisa membuka ruang untuk kebohongan, kepalsuan, atau manipulasi.
Sebaliknya, menulis dengan hati cenderung lebih jujur, karena keluar dari perasaan dan pengalaman yang nyata. Tidak ada yang perlu ditutupi atau dimanipulasi. Tulisan itu menjadi otentik, meskipun mungkin tidak sempurna secara teknis.
Namun, ini bukan berarti menulis dengan otak selalu buruk. Ada saat-saat ketika logika dan struktur dibutuhkan, misalnya untuk menjelaskan sesuatu secara detail atau memecahkan masalah. Tapi, jika menulis hanya mengandalkan otak tanpa melibatkan hati, tulisan itu bisa kehilangan kejujuran dan empati.
Ketika kamu menulis dengan hati, pembaca bisa merasakan kehangatan, getaran, atau kesedihan yang ingin kamu sampaikan. Itu sebabnya, tulisan yang “berasal dari hati” sering lebih mudah menyentuh hati orang lain.
Jadi, “menulis dengan hati” adalah membiarkan emosi dan pengalamanmu memimpin pena, tanpa terlalu khawatir pada aturan atau kesempurnaan teknis.
Pernahkah kamu merasa begitu emosional saat menulis sesuatu, sampai kata-kata seperti mengalir sendiri? Itu tanda kamu sedang menulis dengan hati.