Rembulan malam bersinar malu-malu di langit kota Surakarta. Di sudut stasiun yang sunyi, Andi duduk termenung, tangannya menggenggam erat HP yang memuat foto bayi mungil. Foto anak laki-lakinya yang baru saja lahir. Andi memandang wajah mungil itu dengan hati bergetar, rasa rindu menyelusup ke dalam setiap detak jantungnya.
Sudah dua minggu berlalu sejak Andi meninggalkan rumah. Ia harus pergi karena kesalahpahaman yang tak mampu mereka selesaikan saat itu. Pertengkaran dengan istrinya memaksa Andi mengambil jarak, meski hatinya hancur meninggalkan anak yang baru saja hadir ke dunia.
Setiap malam, Andi hanya bisa memandang foto anaknya di HP. Wajah polos itu mengingatkannya pada semua yang ia tinggalkan, pada tangisan bayi yang selalu membangunkannya di tengah malam. Tangisan yang dulu dianggap mengganggu, kini menjadi melodi yang paling ia rindukan.
Malam itu, di bangku kayu stasiun yang dingin, Andi menatap layar HP-nya untuk kesekian kali. Air mata perlahan jatuh, membasahi pipinya. Di ujung malam yang sepi, Andi berbicara pada dirinya sendiri.
“Ayah rindu kamu, Nak…” gumamnya pelan, seolah angin malam bisa menyampaikan pesan itu pada anaknya di rumah sana. Ia menutup matanya, mencoba mengingat detik-detik pertama ia melihat anaknya. Harum tubuh bayi yang khas, tangis pertama yang memenuhi ruangan rumah sakit, dan senyum kecil di wajah istrinya yang penuh kelelahan.
Namun semuanya terasa seperti mimpi yang menjauh. Kini, dia hanya seorang pria yang terasing dari keluarganya, seorang ayah yang bahkan belum sempat benar-benar merasakan kehadiran anaknya.
Di kejauhan, terdengar bunyi kereta yang mendekat. Andi menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Kereta itu membawanya ke kota lain, jauh dari keluarga. Tapi setiap langkahnya menjauh justru membuat rindunya semakin menjadi.
“Apa aku ini ayah yang buruk?” pikir Andi sambil menunduk. Sesaat, dia teringat pesan dari ibunya yang ia terima beberapa hari lalu. Ibunya berkata dengan nada lembut namun tegas, “Andi, kamu bisa marah, tapi jangan pernah biarkan anakmu kehilangan ayahnya. Pulanglah. Perbaiki semuanya.”
Kata-kata itu seperti duri yang menusuk hatinya. Tapi ia tahu ibunya benar. Ia terlalu lama tenggelam dalam rasa kecewa, hingga melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.
Kereta berhenti. Penumpang mulai bergegas turun dan naik. Andi tetap duduk di bangkunya, tak bergeming. Angin malam semakin menusuk kulit, membawa aroma besi dan asap. Andi merapatkan jaketnya, matanya masih tertuju pada foto di HP.
“Aku pasti menemuimu Nak,” ucap Andi. Dia tak ingin kehilangan lebih banyak waktu lagi. Anak itu membutuhkan ayahnya. Dan ia pun membutuhkan anaknya untuk mengingatkannya bahwa hidup ini memiliki tujuan.
Malam itu, di ujung stasiun yang dingin, Andi menengadahkan tangan. Seutas doa meluncur pelan dari bibirnya. Dia berharap, Tuhan mempertemukannya kembali dengan anaknya. Anak yang menjadi bagian dari jiwanya, bagian dari harapan hidupnya.
Rembulan malam masih malu-malu memancarkan cahayanya, seolah mengerti perasaan Andi. Di ujung malam, sepucuk rindu itu tak lagi hanya menjadi beban, tapi harapan. Harapan untuk menjadi ayah yang pantas, dan harapan untuk sebuah keluarga yang utuh.