Di salah satu ruang perawatan intensif di Korea Selatan, seorang pria berdiri mematung di sisi ranjang istrinya. Sang istri sudah lama tak membuka mata, tak lagi merespons dunia, hanya napas buatan dari mesin yang membuat jantungnya terus berdetak.
Hari itu, ia berbisik pada anak-anaknya, dengan suara tercekat, “Mari kita biarkan Ibu pergi dengan tenang.”
Ia kemudian memutuskan sesuatu yang mengguncang batas antara cinta dan hukum: mencabut alat bantu napas istrinya, yang sudah dalam kondisi koma selama bertahun-tahun.
Keputusan itu membuatnya duduk di kursi pesakitan, menghadapi sistem hukum yang belum sepenuhnya siap dengan pertanyaan: kapan sebuah kehidupan boleh diakhiri?
Bukan karena menyerah. Tapi karena cinta juga berarti tahu kapan harus berhenti berjuang. Sang istri, menurut catatan medis, tidak menunjukkan perbaikan sejak jatuh koma akibat penyakit kronis.
Berbagai upaya medis sudah ditempuh, namun tubuhnya tak lagi merespons. Ia terbaring, tak sadar, selama bertahun-tahun. Dan suaminya tetap datang, setiap hari, menggenggam tangan yang tak menggenggam balik.
“Kalau dia sadar, dia tak akan mau hidup begini,” ucap sang suami dalam sidang. Kata-katanya seperti pisau yang mengiris hati siapa pun yang mendengarnya, tidak karena dingin, tapi karena terlalu dalam.
Duduk di Kursi Terdakwa karena Ingin Mengakhiri Derita
Tindakan mencabut ventilator tak dilakukan sendirian. Ia berdiskusi dengan anak-anaknya, dengan dokter, dan akhirnya menyampaikan keinginannya: melepas sang istri dari ketergantungan mesin, membiarkannya pergi dengan damai. Tapi hukum tidak sesederhana itu.
Jaksa menuduhnya melakukan “pembunuhan atas permintaan”, salah satu pasal abu-abu dalam sistem hukum Korea Selatan yang belum sepenuhnya memiliki kerangka hukum untuk euthanasia pasif. Publik pun terbelah – apakah ia pahlawan cinta, atau pelanggar hukum?
Dalam putusan yang dinanti-nantikan, pengadilan akhirnya memutuskan: tidak bersalah. Hakim menyatakan bahwa keputusan sang suami tidak didasari niat jahat, melainkan belas kasih. Ia tak memutuskan hidup seseorang, ia hanya menghentikan perpanjangan penderitaan yang tidak memiliki harapan pulih.
“Ini bukan soal hukum semata,” kata hakim. “Ini tentang kemanusiaan.”
Keputusan tersebut menjadi tonggak penting dalam perdebatan soal hak untuk mati secara bermartabat di Korea Selatan. Hingga kini, masih banyak kasus serupa yang menggantung tanpa kejelasan hukum, sementara keluarga terus bergulat antara cinta dan rasa bersalah.
Di pemakaman sederhana itu, pria itu berdiri, memandangi foto sang istri. Senyumnya di foto seakan membekukan waktu. Ia menangis, bukan karena menyesal, tapi karena akhirnya bisa membiarkan cinta itu pulang.
Kini, publik tak hanya mengingatnya sebagai pria yang “mematikan istrinya”, tapi sebagai suami yang berani mengambil pilihan yang tak pernah mudah, demi seseorang yang tak lagi bisa memilih untuk dirinya sendiri.
Cerita Pilu
Pada 23 Juni 2009, di Rumah Sakit Severance, Seoul, Korea Selatan, sebuah keputusan monumental diambil. Seorang wanita berusia 76 tahun, yang telah berada dalam kondisi vegetatif sejak Februari 2008 akibat kerusakan otak, akhirnya dilepaskan dari alat bantu napasnya.
Keputusan ini diambil setelah Mahkamah Agung Korea Selatan mengabulkan permintaan keluarganya untuk menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak lagi memberikan harapan pemulihan.
Keluarga pasien menyatakan bahwa sang ibu selalu menentang perawatan medis yang hanya memperpanjang hidup tanpa kualitas. Pengadilan setuju, menyatakan bahwa melanjutkan perawatan dalam kondisi tanpa harapan dapat “merusak martabat manusia.”
Kasus ini menjadi tonggak sejarah dalam perdebatan mengenai hak untuk mati secara bermartabat di Korea Selatan. Sebelumnya, pada tahun 1997, kasus serupa di Rumah Sakit Boramae berakhir dengan dakwaan pembunuhan terhadap dokter dan istri pasien yang meminta penghentian perawatan.
Namun, putusan tahun 2009 mencerminkan perubahan signifikan dalam pandangan hukum dan etika medis di negara tersebut.
Meskipun demikian, perdebatan mengenai euthanasia pasif dan hak pasien untuk menentukan akhir hidup mereka masih berlangsung. Kasus-kasus seperti ini menyoroti kompleksitas antara kasih sayang, hukum, dan etika dalam menghadapi akhir kehidupan.
Sumber : Postbulletin / Asiaone