Di Sampingnya, Aku Tak Lagi Takut Menjadi Diriku Sendiri

Namaku Rena. Usia 27 tahun. Pekerja kantoran biasa yang hidup dari deadline ke deadline, dari pagi yang terlalu buru-buru hingga malam yang terlalu sunyi. Di balik blazer rapi dan senyum profesional saat rapat daring, aku adalah perempuan yang sering kali merasa… kosong. Seperti berjalan tanpa arah di kota yang tak pernah benar-benar peduli apakah aku lelah atau tidak.

Aku bukan tipe perempuan yang bisa bangun pagi lalu menari sambil menyikat gigi, atau yang tahu caranya menyapa dunia dengan penuh semangat. Aku, justru, hidup dengan banyak “kenapa” dalam kepala dan “seandainya” dalam hati. Aku sering menangis tanpa alasan, lalu tertawa keras seolah dunia tak pernah membuatku kecewa. Aku rumit. Dan jujur, terkadang aku sendiri muak dengan betapa rumitnya aku.

Tapi… di tengah kekacauan itu, ada satu hal yang tak pernah berubah: dia.

Laki-laki yang kupanggil “Sayank” — bukan karena manja, tapi karena saat kupanggil begitu, rasanya dunia seperti menyisakan ruang yang lebih lembut buatku bernafas.

Dia datang bukan dengan janji-janji besar atau kalimat-kalimat puitis. Dia datang sebagai kehadiran. Sebagai tangan yang tak pernah lelah meraihku ketika aku mulai menarik diri. Sebagai dada yang jadi tempat aku menangis tanpa takut dianggap lemah. Sebagai mata yang tetap menatapku hangat, bahkan ketika aku menunjukkan sisi tergelap diriku.

Pernah suatu malam aku menatapnya lama, saat langit di luar benar-benar gelap, bahkan bulan pun enggan muncul. Suasana begitu sunyi, dan isi kepalaku begitu gaduh. Aku tak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya berbisik, “Kamu bakal tetap di sampingku, kan?”

Dia tak langsung menjawab. Hanya menggenggam tanganku—erat, hangat, dan tenang. Seolah itu cukup jadi jawaban.

“Aku di sini, Ren. Nggak ke mana-mana,” katanya pelan.

Aku ingin bilang padanya, “Tapi aku menyebalkan.” Aku ingin bilang, “Aku gampang marah, gampang tersinggung, dan terlalu sering menyalahkan diri sendiri.” Tapi suaraku tak pernah benar-benar keluar, karena… dia sudah tahu. Dan meski tahu, dia tetap tinggal.

Aku ingat malam terburukku—malam ketika aku merasa seluruh dunia menyempit. Nafasku sesak, tangisku tak terbendung, dan aku hanya bisa terduduk gemetar di sudut kamar. Tidak ada yang bisa menjelaskannya. Bahkan aku sendiri tak tahu apa yang salah. Tapi dia datang. Bukan dengan ceramah atau pertanyaan, tapi dengan pelukan. Hening, tapi penuh makna.

“Kamu bakal ngerti aku, kan?” tanyaku dengan suara parau.

“Aku nggak harus ngerti semuanya. Tapi aku mau ada buat kamu. Itu cukup, kan?” jawabnya, sambil menyentuhkan dahinya ke keningku.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa dipeluk oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta—aku dipeluk oleh penerimaan. Oleh keberanian seseorang untuk bertahan di sisiku, bahkan saat aku sendiri sedang mencoba bertahan menjadi diriku sendiri.

Dia tidak pernah mencoba mengubahku. Dia hanya diam, menunggu, hadir, dan memahami. Dia tahu aku akan meledak karena hal sepele, tahu aku akan murung karena komentar kecil, dan tahu aku butuh waktu untuk kembali bicara. Tapi dia tak pernah menyerah. Dia tetap membuatkan teh hangat, tetap memijat pelan pundakku yang tegang, tetap memelukku dari belakang tanpa perlu kata-kata.

Cintaku padanya bukan cinta yang mudah. Aku mencintai dengan luka-luka masa lalu yang belum sembuh. Dengan rasa takut ditinggalkan yang diam-diam masih berbisik di kepala. Tapi dia… tetap tinggal.

Aku pernah berkata padanya, saat kami duduk di bawah gerimis di warung kopi kecil di dekat kantor, “Aku nggak butuh yang sempurna. Aku cuma butuh seseorang yang tetap tinggal, bahkan ketika aku sulit untuk dicintai.”

Dia hanya tersenyum. Senyum yang tak menjanjikan apa-apa, tapi entah kenapa membuatku percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Kini, setiap kali aku merasa jatuh, aku tak lagi panik. Karena aku tahu, ada peluk yang akan menangkapku. Ada rumah yang tak dibangun dari tembok, tapi dari sabar dan cinta yang tak bersyarat.

Di dunia yang memaksaku untuk kuat setiap hari, aku akhirnya menemukan satu tempat di mana aku boleh lemah.

Dan tempat itu… adalah di sampingnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *