Pertengahan September 2025, saya bersama seorang rekan mengunjungi Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan yang penuh cerita. Tidak lewat udara, kali ini kami memilih jalur laut dari Balikpapan—sebuah perjalanan panjang yang memberi kesempatan untuk merasakan kembali romantika transportasi klasik Nusantara.
Kapal feri yang kami tumpangi berangkat dari Pelabuhan Semayang Balikpapan pukul 08.00 pagi. Laut tenang, angin semilir, dan suasana kapal cukup ramai oleh para penumpang yang membawa berbagai tujuan: ada yang mudik, ada pula yang sekadar berwisata. Waktu 16 jam di atas laut seolah memaksa kami untuk menikmati ritme lambat—menatap hamparan biru tanpa batas, sembari berbincang santai dan meneguk kopi kapal yang sederhana.
Sekitar pukul 02.00 dini hari, lampu-lampu Kota Parepare mulai terlihat dari kejauhan. Begitu kapal merapat di Pelabuhan Nusantara, suasana langsung terasa berbeda. Kota Parepare, bagi saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki, begitu tenang. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan yang melintas.
Monumen Cinta Sejati Habibie–Ainun Parepare
Meski larut malam, kami menyempatkan diri mengunjungi Monumen Cinta Sejati Habibie–Ainun, yang hanya berjarak lima menit dari pelabuhan. Ada rasa haru tersendiri berdiri di depan monumen Presiden kedua ini, seolah Parepare ingin berbisik bahwa cinta sejati tak pernah lekang oleh waktu.
Dari Parepare, perjalanan dilanjutkan menuju Makassar menggunakan kendaraan pribadi dengan ongkos Rp100 ribu per orang. Jalan darat membelah pegunungan dan pesisir, menyajikan pemandangan indah Sulawesi yang belum tentu bisa ditemui di tempat lain. Meski ditempuh sekitar lima jam, perjalanan terasa singkat karena mata terus dimanjakan oleh panorama khas Sulawesi.
Pagi menjelang ketika akhirnya kami tiba di Kawasan Pantai Losari, Makassar. Riuh aktivitas warga mulai terasa—dari orang yang berolahraga, pedagang kaki lima yang sibuk, hingga wisatawan yang mencari sarapan khas Makassar.
Di titik inilah, perjalanan panjang laut dan darat seolah menemukan jawabannya: Makassar yang penuh energi, sekaligus ramah menyambut siapa pun yang datang.
Makassar, kota metropolitan terbesar di kawasan timur Indonesia, adalah sebuah ruang di mana sejarah, budaya, dan modernitas bertemu dalam satu tarikan napas.
Sejak berabad-abad lalu, kota ini dikenal sebagai “Ujung Pandang”, sebuah pelabuhan strategis yang menjadi pintu gerbang perdagangan rempah, sekaligus arena pertemuan bangsa-bangsa. Hingga kini, identitas Makassar sebagai kota kosmopolitan tetap terjaga, meskipun wajahnya terus bertransformasi.

Sejarah yang Mengakar dalam Jiwa Warga
Nama besar kerajaan Gowa dan Tallo masih melekat kuat dalam memori kolektif orang Makassar. Dari benteng Rotterdam yang megah hingga kisah Sultan Hasanuddin “Ayam Jantan dari Timur”, jejak sejarah kota ini bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi sumber kebanggaan dan identitas. Di balik modernitasnya, Makassar tetap menyimpan denyut tradisi yang menjaga warganya untuk tidak tercerabut dari akar sejarahnya.
Sebagai kota pelabuhan, Makassar tumbuh menjadi simpul perdagangan penting di Indonesia. Pelabuhan Soekarno-Hatta hingga kini menjadi salah satu yang tersibuk di tanah air, melayani arus barang dan manusia dari berbagai pulau.
Ekonomi Makassar tidak hanya ditopang oleh perdagangan, tetapi juga pariwisata, kuliner, hingga pendidikan. Universitas Hasanuddin, misalnya, menjadi pusat lahirnya generasi intelektual dari kawasan timur.
Kuliner yang Menjadi Identitas
Tak lengkap berbicara tentang Makassar tanpa menyebut kulinernya. Coto Makassar, konro, hingga pisang epe bukan sekadar makanan, melainkan warisan rasa yang merekatkan masyarakat. Kuliner Makassar adalah refleksi keterbukaan budaya: pengaruh lokal berpadu dengan sentuhan asing yang singgah lewat jalur laut.
Hari itu, Makassar menampilkan wajah modern dengan gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan, dan kawasan bisnis yang sibuk. Namun, di balik itu semua, kota ini juga berhadapan dengan tantangan: kemacetan, kepadatan penduduk, hingga tekanan urbanisasi yang semakin tinggi.
Pemerintah daerah dituntut menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan, agar Makassar tidak kehilangan identitasnya sebagai kota pesisir yang ramah.
Makassar Sebagai Ruang Hidup
Makassar bukan sekadar kota transit, melainkan ruang hidup yang memberi warna bagi jutaan orang. Dari Pantai Losari yang selalu ramai hingga lorong-lorong kampung nelayan yang masih bertahan, Makassar mengajarkan tentang keragaman, kegigihan, dan semangat keterbukaan. Kota ini menjadi bukti bahwa modernitas tidak harus menghapus jejak sejarah dan budaya, melainkan bisa berjalan beriringan.
Makassar adalah sebuah mosaik: sejarah, perdagangan, kuliner, dan modernitas menyatu dalam satu lanskap kota. Ia bukan hanya milik warganya, tetapi juga milik Indonesia sebagai simbol keterhubungan timur dan barat Nusantara. Ketika kita berbicara tentang Makassar, sesungguhnya kita sedang membicarakan semangat Indonesia: terbuka, tangguh, dan penuh warna.